Jumat, 16 Januari 2015

Tugas PENULISAN 2 Etika Profesi Akuntansi BISMI. N 21211507 4EB07



Tugas  PENULISAN 2 Etika Profesi Akuntansi 

Etika dalam Kantor Akuntan Publik

1.   Etika Bisnis Akuntan Publik
Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi bertujuan untuk mengatur perilaku para angota dalam menjalankan praktek profesinya. Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain itu dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya  telah membuktikan  bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan.
Suatu organisasi profesi memerlukan etika profesional karena organisasi profesi ini menyediakan jasa kepada masyarakat untuk meneliti lebih lanjut mengenai suatu hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut dimana akan menghasilkan informasi yang lebih akurat dari hasil penelitian. Jasa seperti ini memerlukan kepercayaan lebih serius dari mata masyarakat umum terhadap mutu yang akan diberikan oleh jasa akuntan. Agar kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik semakin tinggi, maka organisasi profesional ini memerlukan standar tertentu sebagai pedoman dalam menjalankan kegiatannya.

2.   Tanggung Jawab Sosial Kantor Akuntan Publik sebagai Entitas Bisnis
Gagasan bisnis kontemporer sebagai institusi sosial dikembangkan berdasarkan pada persepsi yang menyatakan bahwa bisnis bertujuan untuk memperoleh laba. Persepsi ini diartikan secara jelas oleh Milton Friedman yang mengatakan bahwa tanggung jawab bisnis yang utama adalah menggunakan sumber daya dan mendesain tindakan untuk meningkatkan laba mengikuti aturan main bisnis. Dengan demikian, bisnis tidak seharusnya diwarnai dengan penipuan dan kecurangan. Pada struktur utilitarian diperbolehkan melakukan aktivitas untuk memenuhi kepentingan sendiri. Untuk memenuhi kepentingan pribadi, setiap individu memiliki cara tersendiri yang berbeda dan terkadang saling berbenturan satu sama lain. Menurut Smith, mengejar kepentingan pribadi diperbolehkan selama tidak melanggar hukum dan keadilan atau kebenaran. Bisnis harus diciptakan dan diorganisasikan dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai entitas bisnis layaknya entitas-entitas bisnis lain, Kantor Akuntan Publik juga dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.  Artinya, pada Kantor Akuntan Publik juga dituntut akan suatu tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun, pada Kantor Akuntan Publik bentuk tanggung jawab sosial suatu lembaga bukanlah pemberian sumbangan atau pemberian layanan gratis. Tapi meliputi ciri utama dari profesi akuntan publik terutama sikap altruisme, yaitu mengutamakan kepentingan publik dan juga memperhatikan sesama akuntan publik dibanding mengejar laba.

3.   Krisis dalam Profesi Akuntansi
Krisis dalam Profesi akuntan publik di Indonesia diperkirakan akan terjadi dalam sepuluh tahun ke depan, disebabkan karena semakin minimnya SDM akibat kurangnya minat generasi muda terhadap profesi tersebut.
Berdasarkan data Ikatan Akuntan Publik (IAI), sedikitnya 75% akuntan publik yang berpraktek di Indonesia berusia di atas 55 tahun. Kondisi ini, tentunya akan mengancam eksistensi profesi akuntan publik di Tanah Air karena tidak ada regenerasi kepada kaum muda. Padahal, seiring dengan semakin berkembangnya pertumbuhan industri di Indonesia, jasa akuntan semakin dibutuhkan. Apabila keadaan ini tidak bisa diatasi, maka diperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan, profesi akuntan terancam mati. Padahal semakin ke depan profesi ini akan sangat menjanjikan karena pesatnya pertumbuhan industri. Pelaksanaan ekonomi di negeri ini ditunjang fungsi akuntan publik oleh karena itupemerintah mendesak RUU Akuntan Publik guna segera disahkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Melalui RUU akuntan publik ini, negara ingin mengatur peran dan bagaimana akuntan publik bekerja. Pasalnya, saat ini terjadi ketimpangan dalam dunia akuntan publik. Dari 16 ribu perusahaan yang selalu diaudit shatiap tahun, 70 persennya hanya diaduit oleh 4 akuntan publik. Sisanya lebih dari 400 akuntan publik dan 600 orang akuntan bekerja.
Undang Undang itu juga mengatur bagaimana profesi akuntan itu bisa mendapatkan perhatian dan pembinaan, mulai dari ijin, menentukan standar akuntansi juga mengawasi kode etik.Izin akuntan publik tetap dari pemerintah, dan kemudian nantinya akan ada sebuah komite yang dibentuk yang terdiri dari perwakilan pemerintah, asosiasi, dan emiten yang akan mengawasi dan membina dalam pelaksanaan pekerjaan akuntan publik.
Dengan undang-undang ini juga diharapkan setiap akuntan publik bisa bekerja secara profesional. Kedepannya Kementerian Keuangan, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak mempercayakan audit laporan keuangan perusahaan itu kepada akuntan publik. Jadi nantinya bagi setiap wajib pajak yang laporan keuangannya sudah diaudit oleh akuntan publik dan statusnya baik, maka laporan keuangan itu tidak akan diperiksa lagi oleh Ditjen Pajak karena  akuntan publik dipercaya mampu dan dapat memberikan laporan yang benar  sehingga dengan demikian Ditjen Pajak hanya tinggal berfokus pada perusahaan yang memang bermasalah.

 4.   Regulasi dalam rangka Penegakan Etika Kantor Akuntan Publik
Setiap orang yang melakukan tindakan yang tidak etis maka perlu adanya penanganan terhadap tindakan tidak etis tersebut. Tetapi jika pelanggaran serupa banyak dilakukan oleh anggota masyarakat atau anggota profesi maka hal tersebut perlu dipertanyakan apakah aturan-aturan yang berlaku masih perlu tetap dipertahankan atau dipertimbangkan untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Secara umum kode etik berlaku untuk profesi akuntan secara keselurahan kalau melihat kode etik akuntan Indonesia isinya sebagian besar menyangkut profesi akuntan publik. Padahal IAI mempunyai kompartemen akuntan pendidik, kompartemen akuntan manajemen disamping kompartemen akuntan publik. Perlu dipikir kode etik yang menyangkut akuntan manajemen, akuntan pendidik, akuntan negara (BPKP, BPK, pajak).
Kasus yang sering terjadi dan menjadi berita biasannya yang menyangkut akuntan publik. Kasus tersebut bagi masyarakat sering diangap sebagai pelanggaran kode etik, padahal seringkali kasus tersebut sebenarnya merupakan pelanggaran standar audit atau pelanggaran terhadap SAK.
Terlepas dari hal tersebut diatas untuk dapat melakukan penegakan terhadap kode etik ada beberapa hal yang harus dilakukan dan sepertinya masih sejalan dengan salah satu kebijakan umum pengurus IAI periode 1990 s/d 1994yaitu :
1)         Penyempurnaan kode etik yang ada penerbitan interprestasi atas kode etik yang ada baik sebagai tanggapan atas kasus pengaduan maupun keluhan dari rekan akuntan atau masyarakat umum. Hal ini sudah dilakukan mulai dari seminar pemutakhiran kode etik IAI, hotel Daichi 15 juni 1994 di Jakarta dan kongres ke-7 di Bandung dan masih terus dan sedang dilakukan oleh pengurus komite kode etik saat ini.
2)         Proses peradilan baik oleh badan pengawas profesi maupun dewan pertimbangan profesi dan tindak lanjutnya (peringatan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian sebagai anggota IAI).
3)      Harus ada suatu bagian dalam IAI yang mengambil inisiatif untuk mengajukan pengaduan baik kepada badan pengawasan profesi atas pelanggaran kode etik meskipun tidak ada pengaduan dari pihak lain tetapi menjadi perhatian dari masyarakat luas.

Perkembangan Terakhir dalam Etika Bisnis dan Profesi
Dalam pandangan saya, pengertian etik tersebut sudah melewati empat tahap atau fase perkembangan generasi pengertian, yaitu
1.      fase pengertian teologis (etika teologis)
2.      fase pengertian ontologis (etika ontologis)
3.      fase pengertian positivis (etika positivist)
4.      fase pengertian fungsional (etika fungsional).”
1.Etika Teologis
Pada perkembangan generasi pengertian pertama, semua sistem etika berasal dari sistem ajaran agama.Semua agama mempunyai ajaran-ajarannya sendiri-sendiri tentang nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang baik dan buruk sebagai pegangan hidup bagi para penganutnya.Karena itu, ajaran etika menyangkut pesan-pesan utama misi keagamaan semua agama, dan semua tokoh agama atau ulama, pendeta, rahib, monk, dan semua pemimpin agama akrab dengan ajaran etika itu.Semua rumah ibadah diisi dengan khutbah-khutbah tentang ajaran moral dan etika keagamaan masing-masing.
Bagi agama-agama yang mempunyai kitab suci, maka materi utama kitab-kitab suci itu juga adalah soal-soal yang berkaitan dengan etika.Karena itu, perbincangan mengenai etika seringkali memang tidak dapat dilepas dari ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam Islam dikatakan oleh nabi Muhammad saw bahwa “Tidaklah aku diutus menjadi Rasul kecuali untuk tujuan memperbaiki akhlaq manusia”. Inilah misi utama kenabian Muhammad saw.
2.Etika Ontologis
Dalam perkembangan kedua, sistem etika itu lama kelamaan juga dijadikan oleh para filosof dan agamawan sebagai objek kajian ilmiah.Karena filsafat manusia sangat berkembang pembahasannya mengenai soal-soal etika dan perilaku manusia ini.Karena itu, pada tingkat perkembangan pengertian yang kedua, etika itu dapat dikatakan dilihat sebagai objek kajian ilmiah, objek kajian filsafat.Inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan yang bersifat ontologis.Etika yang semula hanya dilihat sebagai doktrin-doktrin ajaran agama, dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian sebagai ilmu yang mempelajari sistem ajaran moral.
3.Etika Positivist
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya dimulai pada permulaan abad ke 20, orang mulai berpikir bahwa sistem etika itu tidak cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan secara abstrak dan bersifat umum, tetapi diidealkan agar ditulis secara konkrit dan bersifat operasional. Kesadaran mengenai pentingnya penulisan dalam suatu bentuk kodifikasi ini dapat dibandingkan dengan perkembangan sejarah yang pernah dialami oleh sistem hukum pada abad ke-10 di zaman khalifah Harun Al-Rasyid atau dengan muncul pandangan filsafat Posivisme Auguste Comte pada abad ke 18 yang turut mempengaruhi pengertian modern tentang hukum positif.
Dalam perkembangan generasi ketiga ini, mulai diidealkan terbentuknya sistem kode etika di pelbagai bidang organisasi profesi dan organisasi-organisasi publik. Bahkan sejak lama sudah banyak di antara organisasi-organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi-organisasi profesi di Indonesia sendiri, seperti Ikatan Dokter Indonesia, dan lain-lain yang sudah sejak dulu mempunyai naskah Kode Etik Profesi. Dewasa ini, semua partai politik juga mempunyai kode etik kepengurusan dan keanggotaan.Pegawai Negeri Sipil juga memiliki kode etika PNS.Inilah taraf perkembangan positivist tentang sistem etika dalam kehidupan publik.Namun, hampir semua kode etik yang dikenal dewasa ini, hanya bersifat proforma.Adanya dan tiadanya tidak ada bedanya.Karena itu, sekarang tiba saatnya berkembang kesadaran baru bahwa kode etika-kode etika yang sudah ada itu harus dijalankan dan ditegakkan sebagaimana mestinya.
4.Etika Fungsional Tertutup
Tahap perkembangan generasi pengertian etika yang terakhir itulah yang saya namakan sebagai tahap fungsional, yaitu bahwa infra-struktur kode etika itu disadari harus difungsikan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan bersama. Untuk itu, diperlukan infra-struktur yang mencakup instrumen aturan kode etik dan perangkat kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat diharapkan benar-benar bersifat fungsional. Dimana-mana di seluruh dunia, mulai muncul kesadaran yang luas untuk membangun infra struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan publik. Bahkan pada tahun 1996, Sidang Umum PBB merekomendasikan agar semua negara anggota membangun apa yang dinamakan “ethics infra-structure in public offices” yang mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak kode etik.
Itu juga sebabnya maka di Eropa, di Amerika, dan negara-negara lain di seluruh penjuru dunia mengembangkan sistem kode etik dan komisi penegak kode etik itu. Tidak terkecuali kita di Indonesia juga mengadopsi ide itu dengan membentuk Komisi Yudisial yang dirumuskan dalam Pasal 24B UUD 1945 dalam rangka Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Bersamaan dengan itu, kita juga membentuk Badan Kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD, dan lain-lain untuk maksud membangun sistem etika bernegara. Pada tahun 2001, MPR-RI juga mengesahkan Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
5.Etika Fungsional Terbuka
Namun demikian, menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2012-2017 ini, semua infra-struktur kode etik dan sistem kelembagaan penegakan etika tersebut di atas dapat dikatakan sama sekali belum dikonstruksikan sebagai suatu sistem peradilan etika yang bersifat independen dan terbuka sebagaimana layaknya sistem peradilan modern. Persoalan etika untuk sebagian masih dipandang sebagai masalah private yang tidak semestinya diperiksa secara terbuka. Karena itu, semua lembaga atau majelis penegak kode etika selalu bekerja secara tertutup dan dianggap sebagai mekanisme kerja yang bersifat internal di tiap-tiap organisasi atau lingkungan jabatan-jabatan publik yang terkait. Keseluruhan proses penegakan etika itu selama ini memang tidak dan belum didesain sebagai suatu proses peradilan yang bersifat independen dan terbuka.
Sumber  :
·        Abdullah, Syukry dan Abdul Halim. 2002. Pengintegrasian Etika dalam Pendidikan dan Riset Akuntansi . Kompak, STIE YO.
·        Sukrisno Agoes. 1996. Penegakkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Makalah dalam Konvensi Nasional Akuntansi III. IAI
·        Tessy Octoviana. 2001. “Pemahaman Kode Etik Akuntan”. Jakarta.
·        Agoes, Sukrisno. 1996. Auditing. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
·        Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat