ANDAI AKU MENJADI
MENTERI PEREKONOMIAN
Andai aku menjadi
menteri perekonomian sebuah tulisan yang membuat saya berimajinasi untuk
menjadi menteri perekonomian. Sebuah hal yang tak terbayangkan oleh saya jika
menjadi perekonomian, jabatan yang mempunyai tanggung jawab besar dan memiliki
peranan yang amat besar dalam kemajuan bangsa yang kita cintai ini indonesia,
sebelum saya berimajinasi menjadi menteri perekonomian, tak ada salahnya kita
perlu mengetahui tentang sejarah, visi&misi, tujuan, serta kedudukan,tugas,fungsi&kewenangan
menteri perekonomian
A.
Sejarah Kementerian Perekonomian Sejak
Orde Lama Hingga Reformasi
1. Demokrasi Liberal
a. Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa
Demokrasi Liberal (1950-1959).
Kondisi Ekonomi Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949,
Bangsa Indonesia menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah
ditetapkan dalam hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5
triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Politik Keuangan Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang
di Belanda.
3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah
sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran
pemerintah untuk operasi-operasi keamanan sangat meningkat.
5. Defisit yang harus ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp.
5,1 miliar.
6. Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
7. Angka pertumbuhan jumlah penduduk besar.
Defisit itu berhasil ditanggulangi oleh pemerintah dengan pinjaman luar
negeri sebesar Rp. 1,6 miliar. Selanjutnya melaui sidang uni Indonesi-Belanda
disepakati kredit sebesar Rp.200juta dari Negeri Belanda. Masalah jangka pendek
yang harus diselesaikan pemerintah adalah:
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar.
2. Mengatasi kenaikan biaya hidup.
Sementara itu masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk
dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
b. Usaha untuk memperbaiki perekonomian.
1. Gunting Syarifuddin
Kebijakan gunting syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan
keuangan ini dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua
uang memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya tinggal
setengahnya. Kebijakan keuangan ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh
menteri keuangan pada waktu itu Syarifuddin Prawiranegara.
2. Program Benteng (benteng group)
Gagasan program benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam
program kabinet Natsir (September-April 1951). Pada saat itu Sumitro menjabat
sebagai menteri perdagangan. Selam 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program Benteng ini.
Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik. Kegagalan
program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan
perusahaan non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal. Kegagalan Program
Benteng menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda krisis
moneter, namun menteri keuangan pada masa kabinet sukiman, Jusuf Wibisono masih
memberikan bantuan kredit, khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari
golongan ekonomi lemah. Dengan memberikan bantuan tersebut diharapkan masih
terdapat pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi de javasche bank
Pada tanggal 19 Juni 1951, kabinet Sukiman membentuk nasionalisasi De
Javasche Bank. Kemudian berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI N. 122
dan 123, tanggal 12 Juli 1951, pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai
Presiden De Javasche Bank dan mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai
Presiden De Javasche Bank yang baru. Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan
Undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia sebagai Bank sentral dan Bank Sirkulasi.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, menteri perekonomian dalam kabinet
Ali Sastroamijoyo I. Dalam sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha
pribumi, sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusah non pribumi. Dalam
kebijakan Ali Baba, pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa indonesia agar dapat menduduki
jabatan-jabatan staf. Selanjutnya, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing
dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan
dengan baik, sebab pengusah pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya
dijadikan lat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi
(Finek)
Pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu
delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak
Indonesia dengan pihak Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung
pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan sebagai berikut:
· Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
· Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
· Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat
oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan ini, maka
pemerintah RI mengambil langkah sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet
Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan
Belanda. Sebagai tindak lanjut daripembubaran uni tersebut, pada tanggal 3 Mei
1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya,
banyak pengusaha-pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan
pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda
tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima tahun
(RPLT)
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Ir.
Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro
ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya
akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana
Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaab
RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar. RPLT ini tidak dapat berjalan
dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
· Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun
1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
· Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
· Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakannya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk
sementara waktu dapat diredakan dengan diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap
untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana
pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena menemukan kesulitan
dalam menemukan prioritas. Selain itu ketegangan politik yang tak bisa
diredakan juga mengakibatkkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk
mengatasi pemberontakan ini diperlukan biaya yang sangat besar sehingga
emningkatkan defisit. Sementara itu ketegangan politik antara Indonesia dengan
Belanda menyangkut Irian Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Strukur Ekonomi Indonesia pada waktu itu menjurus kepada sistem etatisme,
artinya segala-galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan
ekonomi banyak diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah, sedangkan
prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan. Akibatnya, defisit dari tahun ke
tahun meningkat 40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada tahun 1960 menjadi Rp.
2.514 miliar pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada tahun 1960
sebanyak Rp. 53,6 miliar, hanya meningkat 17 kali lipat menjadi Rp. 923,4 miliar
. Mulai bulan Januari – Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi Rp. 11 miliar,
sedangkan penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar. Defisit yang semakin
meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang.
Akibatnya menambah berat angka inflasi.
Dalam rangka membendung inflasi dan untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar di masyarakat, maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan
keputusannya tentang penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut.
1. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50.
2. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
3. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Usaha Pemerintah ini tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin
jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru bagi ekonomi secara menyeluruh, yaitu Deklarasi
Ekonomi (Dekon). Dekon dinyatakan sebagai dasar ekonomi Indonesia yang menjadi
bagian dari strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan dibentuknya Dekon adalah
untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demkratis dan bebas dari
sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan
cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan stagnasi dalam perekonomian
Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok. Pada tahun 1961-9162
harga barang-barang pada umumnya naik 400%. Politik Konfrontasi dengan Malaysia
dan negara-negara Barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
Pada tanggal 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden No. 27 tahun 1965,
diambillah langkah devaluasi dengan menjadikan Uang senilai Rp. 1000 menjadi
Rp. 1. Sehingga uang rupiah baru semestinya bernilai 1000 kali lipat uang lama.
Akan tetapi didalam Masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat
lebih tinggi uang rupiah baru. Akibatnya, tindakan moneter pemerintah menekan
inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pada masa Demokrasi terpimpin ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Akibatnya pemerintah harus mengadakan
peneluaran-pengeluaran yang sangat besar, sehingga harga-harga kebutuhan pokok
makin melambung tinggi. Tingkat harga paling tinggi terjadi pada tahun 1965,
yaitu sebesar 200%-300% dari tahun sebelumnya, seiring dengan ekspor yang
semakin lesu dan impor yang dibatasi karena lemahnya devisa.
Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden Soekarno merasa perlu
untuk mempersatukan semua bank negara kedalam satu bank sentral. Untuk itu
dikeluarkan penpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal Milk
Negara. Tugas bank tersebut sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum.
Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan peleburan bank-bank negara Seperti
Bank koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan negara,
Bank Negara Indonesia kedalam Bank Indonesia. Selanjutnya dibentuklah Bank
Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan pekerjaan dan tugas
masing-masing.
B. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru
(1966-1998)
Tepatnya sejak bulan Maret 1966
Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde
Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di
tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak
Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya,
seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Pada permulaan Orde Baru, program
pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada
usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan
pengamanan kebutuhan poko rakyat. Tindakan pemerintah tersebut dilakukan karena
adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi
kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi penyebab dari kurang lancarnya
program pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Arah dan kebijakan Ekonomi yang ditempuh
oleh pemerintah Orde Baru diarahkan pada pembangunan disegala bidang.
Pelaksanaan pembangunan orde baru bertumpu pada program yang dikenal dengan
sebuah program yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu
sebagai berikut.
a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
b) Pertumbuhan eoknomi yang cukup tinggi.
c) Stabilitas nasional yabg sehat dan dinamis.
Pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) dilakukan
orde baru secara periodik 5 tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima
Tahun). Pembangunan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Pelita I (1 April 1969 – 31
Maret 1974)
Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar –dasar pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya.
Sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, papan, perluasan lapangan
kerja dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menekankan kepada pembangunan
bidang pertanian.
b) Pelita II (1 April 1974 – 31
Maret 1979)
Sasaran utama Pelita II yaitu tersedianya pangan, sandang, perumahan,
sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
c) Pelita III (1 April 1979 – 31
Maret 1984)
Pelita III menekankan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada asas
pemerataan, yaitu :
· Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak (pangan, sandang dan
papan);
· Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
· Pemerataan pembagian pendapatan;
· Pemerataan kesempatan kerja;
· Pemerataan kesempatan berusaha;
· Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalm pembangunan;
· Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
· Pemerataan memperoleh keadilan.
d) Pelita IV (1 April 1984 – 13
Maret 1989)
Pada titik ini pemerintah lebih menitikberatkan kepada sektor pertanian
menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri sendiri.
e) Pelita V (1 April 1989 – 31
Maret 1994)
Pada Pelita ini pemerintah menitikberatkan pada sektor pertanian dan
industri.
f) Pelita VI (1 April 1994 – 31
Maret 1999)
Pada Pelita VI Pemerintah masih menitikberatkan pembangunan pada sektor
ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
C. Ekonomi Indonesia Pada Masa Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai
tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat
para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang terjadi di Thailand
akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari
krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak
stabil.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai
menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah
memburuk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya
menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi
keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan
nilai rupiah tersebut.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki
karakteristik sebagai berikut:
• Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu
dari Rp. 2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah
menjadi tidak stabil.
• Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi
yang kemudian memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
• Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan
reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa
transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
D. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada
masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai
berikut:
§ Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai
mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju
inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam
negeri jufga sudah mulai stabil.
§ Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga
kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999
mengenai bank Indonesai, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk
pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
§ Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor
asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
§ Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300
poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian
dalam perdagangan saham di dalam negeri.
E. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Megawati
Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan
ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain : .
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun. .
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan- kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. . .
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun. .
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan- kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. . .
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
F. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden
Susilo Bambang Yuudhoyono
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
B.
Visi & Misi Kementerian Perekonomian
Visi dan Misi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
menetapkan VISI sebagai berikut “Terwujudnya lembaga koordinasi dan
sinkronisasi pembangunan ekonomi yang efektif
dan berkelanjutan"
Visi ini menunjukkan bahwa Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian yang
mempunyai tugas mengkoordinasikan
rencana dan penyusunan kebijakan serta sinkronisasi
pelaksanaan kebijakan untuk mewujudkan :
I)
Pertumbuhan perekonomian yang diinginkan melalui peningkatan investasi
dan ekspor;
II) Penurunan tingkat pengangguran
melalui penciptaan lapangan kerja;
III)
Serta penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan melalui revitalisasi pertanian
dan
perdesaan.
Pembangunan perekonomian tersebut dapat
mewujudkan perekonomian nasional yang
mandiri, memperkokoh kondisi dalam
negeri yang tangguh dalam menghadapi tantangan era globalisasi, sehingga
diharapkan dapat menaikkan taraf hidup serta membawa
masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera.
Adapun MISI Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, yaitu :
"Meningkatkan koordinasi
perencanaan dan penyusutan kebijakan serta mensinkronkan
pelaksanaan kebijakan di bidang
perekonomian"
Misi tersebut disusun dengan mempertimbangkan
adanya reformasi di bidang ekonomi,
perkembangan perekonomian dalam negeri maupun
internasioanal, kondisi era globalisasi
yang semakin kompetitif, serta kebutuhan atau
tuntutan dari masyarakat yang
menginginkan adanya akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintajan yang bersih.
Misi tersebut juga mengisyaratkan adanya
upaya untuk meningkatkan koordinasi, sinkronisasi
dan kerjasama yang lebih baik dalam pengembangan perekonomian nasional,
melalui koordinasi kebijakan :
1.
Pengembangan Kebijakan Makro Ekonomi dan Keuangan
2.
Pengembangan Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
3.
Penyusunan Tata Ruang Nasional
4.
Percepatan Pembangunan Infrastruktur
C.Tujuan
Kementerian Perekonomian
Kementerian Perekonomian memiliki tujuan
:
“Sinkronisasi dan Koordinasi
Perencanaan, Penyusunan, dan Pelaksanaan Kebijakan Bidang Perekonomian Yang
Efektif Dalam Meningkatkan Daya Saing
Perekonomian”
D.
Tugas & Fungsi Kementerian Perekonomian
Tugas
Tugas kementerian perekonomian ialah
membantu presiden menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan
pelaksanaan kebijakan di bidangnya
Fungsi
Mengkoordinasikan para menteri negara dan
pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian dalam keterpaduan pelaksanaan tugas
di bidang perekonomian, termasuk pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan
tugas:
1. Pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan dalam penyiapan dan perumusan
kebijakan pemerintah, penyusunan rencana, program dan kegiatan kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian di bidang perekonomian;
2. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas
dan fungsinya kepada Presiden
Tantangan dan Solusi
Pada Saat Ini Jika Saya Menjadi Menteri Perekonomian
1. realisasi dari
proyek-proyek infrastruktur yang dapat mendorong efisisensi, menurunkan inflasi
dan menarik investasi
2. memperbaiki struktur APBN.
Struktur APBN harus dibenahi terutama melalui peningkatan penerimaan pajak dan
‘tax ratio’ sehingga bisa mencapai ‘tax ratio’ 20 persen sesuai dengan parktik
yang baik (best practice) di negara-negara yang lebih maju. “Jika ini
bisa dilakukan, ketergantungan utang akan berkurang. Terjadi kemandirian
fiskal,”
3. masalah industrialisasi. Industrilisasi
harus didorong lebih cepat terutama yang berkontribusi besar terhadap produk
domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja.
Inilah karangan tulis saya yang
berjudul “ Andai Aku Jadi Menteri Perekonomian “ Terima Kasih.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar