Mengapa kasus korupsi sulit diberantas
Pada kesempatan ini izinkan penulis menuliskan
artikel yang berjudul “ Mengapa kasus korupsi sulit dibongkar”. Saat ini bila
kita melihat media visual atau media audio kita selalu melihat dan mendengar
tentang kasus korupsi yang terus menerus terjadi dan selalu ada, berikut asal
mula korupsi di Indonesia, daftar kasus korupsi besar di Indonesia, Upaya
pencegahan kasus korupsi.
Asal usul korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu,
sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga
era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun
hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik
memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang
berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan,
kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah
Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah
politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi
itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu
mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu
lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola
pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan
“perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan
banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai
oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi
berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai
tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan
Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji
sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang
telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga
diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar
(Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian
besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti
atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur
karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah
Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah
dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC
rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta
menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru
pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram
lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di
lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab
utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350
tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang
korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek
pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum
apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong
miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah
mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang
tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera”
mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah
Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh
lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada
berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan
penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,
sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum
memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh
masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda
pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya.
Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi.
Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau
diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir
mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford
Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816),
terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan
bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat
luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah,
pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna,
karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar
karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah
terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan,
dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain
tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang
gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi
dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi
dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit
kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka
menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum
lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh
karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi
sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas,
tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan”
itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem
juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan
diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada
Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga
mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung
belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai
pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil
pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di
beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya,
apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para
pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain
menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang
harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang
dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 –
1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan
Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan
lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem
“Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun
tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat
agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi
kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS
sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau
praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang
artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru
atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti
ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS
tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah
miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi,
Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya
yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan
lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang
Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh
lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa
dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal
sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi
di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde
Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya
adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya
memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya,
namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat
sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi –
namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para
pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah
sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian
ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para
pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi
langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena
kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena
pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya
diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun
1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu
menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus
korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah
“Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi.
Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk
menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa
dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi
dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar,
jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu
prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam
suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio
mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya
menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden
Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya
mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR
tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang
tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama
kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK
dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar
melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara
seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama
adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena
hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain
juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.
Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang
cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode
atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi”
lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi”
yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya
sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan
dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU
atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa
Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah
semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia
mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap
sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung
upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di
luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam
kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur
sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang
melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus
Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui
apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg
BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual
aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat
dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah
otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa
mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk
Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya
Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai
bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang
nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah
semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak
pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Daftar kasus korupsi besar di Indonesia
Kasus BLBI
Kasus Bank Century
Kasus Edy Tansil
Kasus Hambalang
Kasus Nazarudin
Upaya pencegahan korupsi
10 langkah pemberantasan korupsi extra
ordinary tersebut:
Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi
antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan
antikorupsi.
Kedua, untuk menjadi baju hukum proklamasi
antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi
Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut
mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya
keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya
baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa
yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional
pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu
Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat
korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera
dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah
Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas
politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah
sebagai kebijakan presiden.
Ketiga, di dalam perpu dapat ditegaskan fokus
pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi
birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir
koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi
tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan pernah
berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk
itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu
dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula
halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia
peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan
penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan
terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka
reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia
peradilan.
Keempat, konsentrasi pada reformasi birokrasi dan
reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan
represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan
metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas
keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.
Kelima, untuk langkah represif penegakan hukum,
strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes.
Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk
menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus
kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka
prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas,
dibanding korupsi by need.
Keenam, sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi
di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata
kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana,
Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa
kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di
lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi
oleh para mega pengusaha.
Ketujuh, pemberantasan korupsi di empat wilayah
untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal
tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan
pada jaringan cabang sel kankernya.
Kedelapan, pemberantasan korupsi harus dikuatkan
jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa.
Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back)
yang terus semakin gencar.
Kesembilan, semua langkah pemberantasan korupsi di
atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin
Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa
episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau
bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.
Kesepuluh, akhirnya, semua langkah tersebut harus
diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.
Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara
luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat Indonesia yang luar biasa
untuk konsisten menerapkannya, sekian dari saya kurang lebihnya mohon maaf
terima kasih.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar