Tugas PENULISAN 2 Etika Profesi Akuntansi
Etika
dalam Kantor Akuntan Publik
1.
Etika Bisnis Akuntan Publik
Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi
bertujuan untuk mengatur perilaku para angota dalam menjalankan praktek
profesinya. Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur
oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia
yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada
akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan
masyarakat. Selain itu dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana
untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang
kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian
pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Kasus
enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya
telah membuktikan bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa
etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita
harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari
bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi
kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat
merugikan.
Suatu organisasi profesi memerlukan etika
profesional karena organisasi profesi ini menyediakan jasa kepada masyarakat
untuk meneliti lebih lanjut mengenai suatu hal yang memerlukan penelitian lebih
lanjut dimana akan menghasilkan informasi yang lebih akurat dari hasil
penelitian. Jasa seperti ini memerlukan kepercayaan lebih serius dari mata
masyarakat umum terhadap mutu yang akan diberikan oleh jasa akuntan. Agar
kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik semakin tinggi, maka
organisasi profesional ini memerlukan standar tertentu sebagai pedoman dalam
menjalankan kegiatannya.
2.
Tanggung Jawab Sosial Kantor Akuntan Publik sebagai Entitas Bisnis
Gagasan bisnis kontemporer sebagai institusi sosial dikembangkan
berdasarkan pada persepsi yang menyatakan bahwa bisnis bertujuan untuk
memperoleh laba. Persepsi ini diartikan secara jelas oleh Milton Friedman yang
mengatakan bahwa tanggung jawab bisnis yang utama adalah menggunakan sumber
daya dan mendesain tindakan untuk meningkatkan laba mengikuti aturan main
bisnis. Dengan demikian, bisnis tidak seharusnya diwarnai dengan penipuan dan
kecurangan. Pada struktur utilitarian diperbolehkan melakukan aktivitas untuk
memenuhi kepentingan sendiri. Untuk memenuhi kepentingan pribadi, setiap
individu memiliki cara tersendiri yang berbeda dan terkadang saling berbenturan
satu sama lain. Menurut Smith, mengejar kepentingan pribadi diperbolehkan
selama tidak melanggar hukum dan keadilan atau kebenaran. Bisnis harus diciptakan
dan diorganisasikan dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai entitas bisnis layaknya entitas-entitas
bisnis lain, Kantor Akuntan Publik juga dituntut untuk peduli dengan keadaan
masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan,
melainkan lebih kompleks lagi. Artinya, pada Kantor Akuntan Publik juga
dituntut akan suatu tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun, pada Kantor
Akuntan Publik bentuk tanggung jawab sosial suatu lembaga bukanlah pemberian
sumbangan atau pemberian layanan gratis. Tapi meliputi ciri utama dari profesi
akuntan publik terutama sikap altruisme, yaitu mengutamakan kepentingan publik
dan juga memperhatikan sesama akuntan publik dibanding mengejar laba.
3.
Krisis dalam Profesi Akuntansi
Krisis dalam Profesi akuntan publik di
Indonesia diperkirakan akan terjadi dalam sepuluh tahun ke
depan, disebabkan karena semakin minimnya SDM
akibat kurangnya minat generasi muda terhadap profesi tersebut.
Berdasarkan data Ikatan Akuntan Publik (IAI),
sedikitnya 75% akuntan publik yang berpraktek di Indonesia berusia di atas 55
tahun. Kondisi ini, tentunya akan mengancam eksistensi profesi
akuntan publik di Tanah Air karena tidak ada regenerasi kepada kaum muda.
Padahal, seiring dengan semakin berkembangnya pertumbuhan industri di
Indonesia, jasa akuntan semakin dibutuhkan. Apabila keadaan ini tidak bisa
diatasi, maka diperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan, profesi
akuntan terancam mati. Padahal semakin ke depan profesi ini akan sangat
menjanjikan karena pesatnya pertumbuhan industri. Pelaksanaan ekonomi di negeri
ini ditunjang fungsi akuntan publik oleh karena itupemerintah mendesak RUU
Akuntan Publik guna segera disahkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Melalui RUU akuntan publik ini, negara ingin
mengatur peran dan bagaimana akuntan publik bekerja. Pasalnya, saat ini terjadi
ketimpangan dalam dunia akuntan publik. Dari 16 ribu perusahaan yang selalu
diaudit shatiap tahun, 70 persennya hanya diaduit oleh 4 akuntan publik.
Sisanya lebih dari 400 akuntan publik dan 600 orang akuntan bekerja.
Undang Undang itu juga mengatur bagaimana profesi
akuntan itu bisa mendapatkan perhatian dan pembinaan, mulai dari ijin,
menentukan standar akuntansi juga mengawasi kode etik.Izin akuntan publik
tetap dari pemerintah, dan kemudian nantinya akan ada sebuah komite yang
dibentuk yang terdiri dari perwakilan pemerintah, asosiasi, dan
emiten yang akan mengawasi dan membina dalam pelaksanaan pekerjaan akuntan
publik.
Dengan undang-undang ini juga diharapkan setiap
akuntan publik bisa bekerja secara profesional. Kedepannya Kementerian
Keuangan, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak mempercayakan audit
laporan keuangan perusahaan itu kepada akuntan publik. Jadi nantinya
bagi setiap wajib pajak yang laporan keuangannya sudah diaudit oleh akuntan
publik dan statusnya baik, maka laporan keuangan itu tidak akan diperiksa lagi
oleh Ditjen Pajak karena akuntan
publik dipercaya mampu dan dapat
memberikan laporan yang benar sehingga dengan
demikian Ditjen Pajak hanya tinggal berfokus pada perusahaan yang memang
bermasalah.
4.
Regulasi dalam rangka Penegakan Etika Kantor Akuntan Publik
Setiap orang yang melakukan tindakan yang tidak etis
maka perlu adanya penanganan terhadap tindakan tidak etis tersebut. Tetapi
jika pelanggaran serupa banyak dilakukan oleh anggota masyarakat atau
anggota profesi maka hal tersebut perlu dipertanyakan apakah
aturan-aturan yang berlaku masih perlu tetap dipertahankan atau
dipertimbangkan untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan perubahan dan
perkembangan lingkungan.
Secara umum kode etik berlaku untuk profesi akuntan
secara keselurahan kalau melihat kode etik akuntan Indonesia isinya
sebagian besar menyangkut profesi akuntan publik. Padahal IAI mempunyai
kompartemen akuntan pendidik, kompartemen akuntan manajemen disamping
kompartemen akuntan publik. Perlu dipikir kode etik yang menyangkut
akuntan manajemen, akuntan pendidik, akuntan negara (BPKP, BPK, pajak).
Kasus yang sering terjadi dan menjadi berita
biasannya yang menyangkut akuntan publik. Kasus tersebut bagi masyarakat
sering diangap sebagai pelanggaran kode etik, padahal seringkali kasus
tersebut sebenarnya merupakan pelanggaran standar audit atau pelanggaran
terhadap SAK.
Terlepas dari hal tersebut diatas untuk dapat
melakukan penegakan terhadap kode etik ada beberapa hal yang harus
dilakukan dan sepertinya masih sejalan dengan salah satu kebijakan
umum pengurus IAI periode 1990 s/d 1994yaitu :
1) Penyempurnaan
kode etik yang ada penerbitan interprestasi atas kode etik yang ada baik
sebagai tanggapan atas kasus pengaduan maupun keluhan dari rekan
akuntan atau masyarakat umum. Hal ini sudah dilakukan mulai dari seminar
pemutakhiran kode etik IAI, hotel Daichi 15 juni 1994 di Jakarta dan
kongres ke-7 di Bandung dan masih terus dan sedang dilakukan oleh pengurus
komite kode etik saat ini.
2) Proses
peradilan baik oleh badan pengawas profesi maupun dewan pertimbangan
profesi dan tindak lanjutnya (peringatan tertulis, pemberhentian sementara
dan pemberhentian sebagai anggota IAI).
3) Harus ada
suatu bagian dalam IAI yang mengambil inisiatif untuk mengajukan pengaduan
baik kepada badan pengawasan profesi atas pelanggaran kode etik meskipun
tidak ada pengaduan dari pihak lain tetapi menjadi perhatian dari
masyarakat luas.
Perkembangan
Terakhir dalam Etika Bisnis dan Profesi
Dalam pandangan saya, pengertian etik tersebut sudah
melewati empat tahap atau fase perkembangan generasi pengertian, yaitu
1. fase pengertian
teologis (etika teologis)
2. fase pengertian ontologis
(etika ontologis)
3. fase pengertian
positivis (etika positivist)
4. fase pengertian
fungsional (etika fungsional).”
1.Etika
Teologis
Pada perkembangan generasi pengertian pertama, semua
sistem etika berasal dari sistem ajaran agama.Semua agama mempunyai
ajaran-ajarannya sendiri-sendiri tentang nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang
baik dan buruk sebagai pegangan hidup bagi para penganutnya.Karena itu, ajaran
etika menyangkut pesan-pesan utama misi keagamaan semua agama, dan semua tokoh
agama atau ulama, pendeta, rahib, monk, dan semua pemimpin agama akrab dengan
ajaran etika itu.Semua rumah ibadah diisi dengan khutbah-khutbah tentang ajaran
moral dan etika keagamaan masing-masing.
Bagi agama-agama yang mempunyai kitab suci, maka
materi utama kitab-kitab suci itu juga adalah soal-soal yang berkaitan dengan
etika.Karena itu, perbincangan mengenai etika seringkali memang tidak dapat
dilepas dari ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam Islam dikatakan oleh nabi
Muhammad saw bahwa “Tidaklah aku diutus menjadi Rasul kecuali untuk tujuan
memperbaiki akhlaq manusia”. Inilah misi utama kenabian Muhammad saw.
2.Etika
Ontologis
Dalam perkembangan kedua, sistem etika itu lama
kelamaan juga dijadikan oleh para filosof dan agamawan sebagai objek kajian
ilmiah.Karena filsafat manusia sangat berkembang pembahasannya mengenai
soal-soal etika dan perilaku manusia ini.Karena itu, pada tingkat perkembangan
pengertian yang kedua, etika itu dapat dikatakan dilihat sebagai objek kajian
ilmiah, objek kajian filsafat.Inilah yang saya namakan sebagai tahap
perkembangan yang bersifat ontologis.Etika yang semula hanya dilihat sebagai
doktrin-doktrin ajaran agama, dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian
sebagai ilmu yang mempelajari sistem ajaran moral.
3.Etika
Positivist
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya dimulai
pada permulaan abad ke 20, orang mulai berpikir bahwa sistem etika itu tidak
cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan secara abstrak dan bersifat umum, tetapi
diidealkan agar ditulis secara konkrit dan bersifat operasional. Kesadaran
mengenai pentingnya penulisan dalam suatu bentuk kodifikasi ini dapat
dibandingkan dengan perkembangan sejarah yang pernah dialami oleh sistem hukum
pada abad ke-10 di zaman khalifah Harun Al-Rasyid atau dengan muncul pandangan
filsafat Posivisme Auguste Comte pada abad ke 18 yang turut mempengaruhi
pengertian modern tentang hukum positif.
Dalam perkembangan generasi ketiga ini, mulai
diidealkan terbentuknya sistem kode etika di pelbagai bidang organisasi profesi
dan organisasi-organisasi publik. Bahkan sejak lama sudah banyak di antara
organisasi-organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi-organisasi profesi di
Indonesia sendiri, seperti Ikatan Dokter Indonesia, dan lain-lain yang sudah
sejak dulu mempunyai naskah Kode Etik Profesi. Dewasa ini, semua partai politik
juga mempunyai kode etik kepengurusan dan keanggotaan.Pegawai Negeri Sipil juga
memiliki kode etika PNS.Inilah taraf perkembangan positivist tentang sistem
etika dalam kehidupan publik.Namun, hampir semua kode etik yang dikenal dewasa
ini, hanya bersifat proforma.Adanya dan tiadanya tidak ada bedanya.Karena itu,
sekarang tiba saatnya berkembang kesadaran baru bahwa kode etika-kode etika
yang sudah ada itu harus dijalankan dan ditegakkan sebagaimana mestinya.
4.Etika
Fungsional Tertutup
Tahap perkembangan generasi pengertian etika yang
terakhir itulah yang saya namakan sebagai tahap fungsional, yaitu bahwa
infra-struktur kode etika itu disadari harus difungsikan dan ditegakkan dengan
sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan bersama. Untuk itu, diperlukan
infra-struktur yang mencakup instrumen aturan kode etik dan perangkat
kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat diharapkan benar-benar
bersifat fungsional. Dimana-mana di seluruh dunia, mulai muncul kesadaran yang
luas untuk membangun infra struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan
publik. Bahkan pada tahun 1996, Sidang Umum PBB merekomendasikan agar semua
negara anggota membangun apa yang dinamakan “ethics infra-structure in public
offices” yang mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak kode etik.
Itu juga sebabnya maka di Eropa, di Amerika, dan
negara-negara lain di seluruh penjuru dunia mengembangkan sistem kode etik dan
komisi penegak kode etik itu. Tidak terkecuali kita di Indonesia juga mengadopsi
ide itu dengan membentuk Komisi Yudisial yang dirumuskan dalam Pasal 24B UUD
1945 dalam rangka Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Bersamaan dengan
itu, kita juga membentuk Badan Kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD, dan
lain-lain untuk maksud membangun sistem etika bernegara. Pada tahun 2001,
MPR-RI juga mengesahkan Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
5.Etika
Fungsional Terbuka
Namun demikian, menurut Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu 2012-2017 ini, semua infra-struktur kode etik dan sistem
kelembagaan penegakan etika tersebut di atas dapat dikatakan sama sekali belum
dikonstruksikan sebagai suatu sistem peradilan etika yang bersifat independen
dan terbuka sebagaimana layaknya sistem peradilan modern. Persoalan etika untuk
sebagian masih dipandang sebagai masalah private yang tidak semestinya
diperiksa secara terbuka. Karena itu, semua lembaga atau majelis penegak kode
etika selalu bekerja secara tertutup dan dianggap sebagai mekanisme kerja yang
bersifat internal di tiap-tiap organisasi atau lingkungan jabatan-jabatan
publik yang terkait. Keseluruhan proses penegakan etika itu selama ini memang
tidak dan belum didesain sebagai suatu proses peradilan yang bersifat
independen dan terbuka.
Sumber
:
·
Abdullah,
Syukry dan Abdul Halim. 2002. Pengintegrasian Etika dalam Pendidikan dan Riset
Akuntansi . Kompak, STIE YO.
·
Sukrisno
Agoes. 1996. Penegakkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Makalah dalam Konvensi
Nasional Akuntansi III. IAI
·
Tessy Octoviana. 2001. “Pemahaman Kode
Etik Akuntan”. Jakarta.
·
Agoes, Sukrisno. 1996. Auditing.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
·
Mulyadi.
2002. Auditing. Jakarta: Salemba
Empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar